Banyak orang berpikir menjadi stay-at-home-mom itu hidupnya enak. No boss, no workplace pressure, bisa istirahat lebih lama, bisa santai-santai. Banyak mommies yang dilemma memilih antara tetap menjadi working mom atau menjadi stay-at-home-mom. Tidak semua bisa menjadi working mom dan tidak semua bisa menjadi stay-at-home-mom. Sebagai stay-at-home-mom without a nanny, di post ini saya akan list down plus minus menjadi stay-at-home-mom, and let’s see if it will suit you.
PROS :
- The ‘FIRSTS’
Dalam setahun pertama kehidupan anak, semua akan menjadi ‘the first’ untuk dia. Pertama kali roll over, pertama kali tengkurap, pertama kali duduk, pertama kali berjalan, dan masih banyak lainnya. I have the priviledge untuk menyaksikan itu semua dengan mata kepala saya sendiri dan rasa bangga dan bahagianya itu…tidak terdeskripsikan. Time flies, pertumbuhan anak berjalan sangat cepat, saat saya menjadi stay-at-home-mom, saya menyaksikan setiap detail milestone anak saya, dimana hal ini tidak akan pernah terlupakan sampai detik saya menutup mata untuk selamanya. - Less stress
Bicara mengenai stress, banyak sekali saya melihat teman-teman saya yang working mom tidak bisa konsentrasi di pekerjaan karena harus cek anak terus menerus ke grandparents atau babysitter, harus pumping, apalagi kalau anak sakit. Saya ga pernah bisa pergi ‘dating’ dengan daddynya Sammy dengan santai karena baru beberapa jam saja sudah kangen, jadi saya ga bisa bayangkan bagaimana depresinya saya kalau saya harus jauh dari Sammy selama lebih dari 8 jam setiap harinya. I believe it very stressful, apalagi ditambah beban pekerjaan - You are his/her only world
Berada 24/7 dengan anak saya membuat saya menjadi the center of his world. Saya tau kondisi ini hanya sementara sebelum dia sibuk dengan mainan-mainannya, teman-temannya, pacarnya, jadi saya mau ‘posesif’ dengan anak saya selagi masih ada waktu. Setiap hal kecil, Sammy selalu ‘laporan’ dan ‘pamer’ ke saya. Setiap dia sakit/sedih/ngantuk, cuma saya yang bisa membuat dia tenang dan nyaman. Setiap dia nakal, cuma saya yang bisa membuat dia nurut. Those every little thing is very rewarding for me. - Cut Down Costs
Sudah menjadi rahasia umum kalau biaya daycare dan babysitter itu amat sangat mahal, apalagi kalau mau daycare dan babysitter yang berkualitas tinggi, siap-siap saja merogoh saku lebih dalam. Dengan menjadi stay-at-home-mom, saya bisa saving pengeluaran untuk hal itu dan saya alihkan untuk hal lainnya seperti ke bahan MPASI Sammy, vitamin-vitamin bagus, mainan-mainan edukatif. Percayalah, tidak ada babysitter atau daycare yang bisa menyayangi dan merawat anak kita lebih dari kita sebagai ibunya.
CONS
- Loneliness
Daddynya Sammy pergi kerja dari subuh dan pulang kerja jam 8-9 malam. Jadi bayangkan keseharian saya yang hanya berdua dengan seorang anak yang belum bisa diajak bicara atau curhat. Tidak ada orang yang bisa diajak bicara untuk berkeluh kesah. Kalau lagi kesal saat itu, ya dihadapi sendiri. Kalau lagi down karena Sammy ga mau makan, ya hanya bisa diam sendiri. Ga ada teman-teman untuk sekedar bercanda untuk refresh stress seperti kalau di kantor. - Identity Crisis
Jujur ini saya alami dan yang paling berat. Saya merasa kehilangan identitas saya yang tadinya saya seorang career woman, saya punya power, saya biasa tampil flawless, sekarang dirumah saya tidak ada penghasilan, boro-boro make up, bisa mandi saja sudah bagus. Identitas saya seolah terkubur karena setiap hari saya harus menjalankan profile saya sebagai Mommy lalu sebagai istri, dan terakhir sebagai diri saya sendiri (kalau ada sisa waktu) - More and more sacrifices
Tidak cukup dengan badan yang rusak karena melahirkan dan menyusui, tapi banyak hal yang saya korbankan. Saya tidak punya ‘me time’ bahkan untuk sekedar mandi dan pee sendiri. Saya harus makan terakhir setelah anak saya selesai makan, bahkan seringnya makanan sisa atau makanan yang sudah dingin. Tidak ada lagi waktu untuk massage, ke salon, shopping baju sepatu bagus karena toh saya hanya dirumah. - Routines
Tidak ada lagi kelegaan setelah jam 5 sore dimana bisa pulang kantor, dinner berdua dengan suami dengan santai, karena yang ada adalah rutinitas dari buka mata sampai tutup mata. Hari-hari berkisar dari bangun-change diaper-siapkan makan-pumping-menidurkan anak-repeat, dan berlanjut sampai 365 hari ke depan, tanpa cuti.
Is it worth it?
Buat saya, YES! Stress? Pasti. Akan ada waktunya dimana saya hanya tinggal berdua dengan suami, tidak ada yang perlu digantikan diaper, tidak ada yang perlu ditenangkan tanpa tantrum, tanpa ada yang berantakin mainan, tanpa perlu pusing ide masakan. Time flies, ini yang selalu saya ingat, Sammy tidak akan kecil terus, dia akan beranjak dewasa dan punya dunianya sendiri, jadi selagi saya menjadi satu-satunya dunianya, saya mau ‘menikmati’ keberadaan anak saya di setiap nafas saya.
Menjadi working mom atau stay-at-home-mom semua kembali ke keputusan masing-masing dan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Saya percaya semua ibu hebat dan semua ibu punya keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya. Happy parenting!
Cheers,
Mommy Sammy